Friday, December 29, 2006

Cemoohan: Antara Kesenangan dan Dosa

Cemoohan: Antara Kesenangan dan Dosa

Oleh: Yasser Arafat *

Pernah suatu ketika Imam Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib yang bergelar as-Sajjad berkata kepada Asy-Syibli yang baru pulang dari haji, “Pernahkah kamu hai Syibli berkunjung ke Masjidil Haram, ke rumah Allah al-Haram?” “Tentu wahai putra Rasulullah.” jawab Asy-Syibli. “Apakah ketika engkau berkunjung ke Masjidil Haram engkau haramkan dirimu untuk menjatuhkan kehormatan sesama kaum Muslimin dengan lidahmu, tanganmu, dan perbuatanmu?”

Imam Ali Zainal Abidin mengulangi pertanyaannya kepada Asy-Syibli, “Apakah ketika kamu masuk Masjidil Haram kamu berniat untuk memelihara kehormatan kaum Muslimin dan tidak akan menjatuhkan kehormatan mereka dengan lidahmu, tanganmu, dan perbuatanmu?” Ketika Asy-Syibli menjawab, “Tidak duhai putra Rasulullah,” Imam Ali Zainal Abidin berkata, “Kalau begitu engkau belum masuk Masjidil Haram.”

Imam Ali Zainal Abidin dalam riwayat tersebut berpesan kepada kita semua, jika kita berangkat haji kemudian pulang tetapi masih suka mempergunjingkan orang sesama Muslim, masih juga mencemooh, mengejek, atau menyakiti hati sesama muslim, maka pada hakikatnya kita belum berhaji.

Akhir-akhir ini banyak aktivis-aktivis Islam yang saya jumpai yang rajin mengaji, kemana-mana bawa al-Qur’an, yang wanita jilbabnya besar, yang laki-laki celananya cingkrang dan jenggotan, tetapi suka mempergunjingkan orang lain yang tidak seperti mereka. Mungkin sudah menjadi kebiasaan mereka untuk bersikap seperti itu.

Ust. Jalaluddin Rakhmat pernah bercerita (cerita nyata, bukan khayalan). Ada seorang karyawati di Jakarta. Di Jakarta biasanya mereka tinggal di rumah-rumah kost-an. Seorang karyawati Muslimah itu tinggal di asrama orang-orang Kristen. Di asrama itu dia diperlakukan betul-betul terhormat. Kalau pulang ditegur, kalau ada acara dia diajak bergabung, kadang-kadang minum bersama mereka walaupun mereka tahu bahwa dia seorang Muslimah, tapi mereka memperlakukannya dengan baik. Suatu saat, seseorang bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tinggal di asrama Kristen, kenapa tidak memilih asrama Muslimah yang ada di sekitar situ?” Akhirnya, dia pindah dari asrama itu ke tempat kost yang hanya diisi oleh Muslimah. Karyawati ini belum menggunakan jilbab. Begitu dia masuk ke situ dia menghadapi wajah-wajah garang dan begitu dia agak jauh, mereka mempergunjingkan dia karena tidak memakai jilbab. Kalau sesama yang pakai jilbab pulang, disambut dengan peluk, “cipika-cipiki” (cium pipi kanan-cium pipi kiri). Tapi kalau dia pulang, mau salam tangan saja, mereka memalingkan wajah, karena dia tidak mengenakan jilbab. Hanya karena tidak pakai jilbab, dia dijatuhkan kehormatannya, dicemooh, dan diasingkan. Malang nian nasib karyawati itu. Kasihan juga wanita-wanita “Muslimah” itu.

Wanita-wanita tadi mungkin bagus dalam memakai jilbabnya, rajin baca al-Qur’an, tidak pernah tinggal shalat, shalat malam pun tidak pernah terlewatkan, tetapi tanpa sadar, mereka telah melakukan dosa besar. Aktivis-aktivis Islam yang saya ceritakan di atas, mereka sangat tekun beribadah dan menjalankan sunnah-sunnah Nabi, tetapi tanpa sadar mereka telah terjerumus dalam dosa besar ketika mereka mempergunjingkan orang lain. Sebesar apakah dosanya menjatuhkan kehormatan sesama Muslimin?

Ust. Jalaluddin Rakhmat mengutip sebuah riwayat dalam bukunya yang berjudul Tafsir bil Ma’tsur, “Ketika Rasulullah Thawaf mengelilingi Ka’bah, beliau berhenti di Multazam, beliau bergantung di tirai Ka’bah kemudian beliau berkata, ‘Duhai Ka’bah, betapa mulianya engkau, betapa agungnya engkau, betapa luhurnya engkau. Tetapi demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya, kehormatan seorang Muslim lebih tinggi dari kehormatan Ka’bah.”

Betapa mulianya kehormatan seorang Muslim, bahkan kehormatannya lebih tinggi dari Ka’bah. Dari situ bisa kita tarik sebuah kesimpulan bahwa menjatuhkan kehormatan seorang Muslim dosanya lebih besar daripada menjatuhkan kehormatan Ka’bah.

Ada cerita dari teman saya yang serupa dengan cerita di atas. Pernah suatu ketika teman saya dikucilkan oleh teman-teman kostnya yang “shalehah”. Dia dikucilkan hanya karena tidak tidak bergabung dengan organisasi yang mereka ikuti. Kebetulan organisasi yang mereka ikuti adalah organisasi keislaman yang bisa dikatakan namanya sedang “besar” di kampus. Saya tidak mau menyebutkan nama organisasi tersebut, karena saya takut pembaca jatuh pada kesalahan berpikir dengan beranggapan bahwa orang-orang yang ikut organisasi itu pasti semuanya bersikap seperti sikap mereka. Saya masih ber-positive thinking. Saya yakin tidak semuanya seperti itu. Akhirnya teman saya tadi pindah ke tempat kost yang lain, dimana dia bisa diterima dengan tangan terbuka tanpa cemoohan, pengucilan, gunjingan, dan cacian.

Menurut ilmu psikologi, kita sebagai manusia memiliki kecenderungan mudah untuk mencemooh orang lain ketika orang tersebut berbeda dengan kita. Misalnya saja berbeda Partai, berbeda organisasi keislaman, maupun berbeda mazhab yang dianutnya. Manusia itu cenderung bersimpati kepada seseorang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Ketika ada seseorang yang berbeda dengan dirinya, maka muncul sikap ketidaksukaannya kepada orang itu. Tidak percaya? Silakan saja Anda mencoba. Berbedalah dengan orang lain dalam segala hal, niscaya Anda akan digunjingkan atau dijauhi.

Pernahkah kita merenungkan hikmah dari sebuah gitar. Gitar yang terdiri dari beberapa senar gitar dengan nada yang berbeda-beda. Tetapi ketika kita memainkannya, maka gitar itu mengelurkan irama yang harmonis yang enak untuk kita dengar. Apakah gitar itu lebih mulia dari kita, seorang manusia? Kenapa ketika kita berbeda-beda, kita malah saling mencemooh, saling menghujat, bahkan saling memerangi satu sama lain. Bukankah kita diciptakan menjadi berbagai suku, agama, bahasa, pikiran, sifat, tindak-tanduk yang berbeda? Lalu kenapa kita seolah-olah ingin menghilangkan perbedaan itu? Pernahkah kita, sebagai manusia, terpikirkan bahwa perbedaan di antara kita merupakan sebuah kewajaran? Lalu kenapa kita membuat semua itu menjadi tidak wajar?

Banyak di antara kita ternyata belum mengetahui betapa besar dosanya menjatuhkan kehormatan sesama Muslim. Banyak di antara kita ternyata belum menyadari bahwa mencemooh, mempergunjingkan, menghujat saudara sesame Muslim merupakan sebuah dosa besar.

Setelah Anda mengetahui bahwa kehormatan seorang Muslim lebih tinggi dari kehormatan Ka’bah. Setelah kita menyadari bahwa menjatuhkan kehormatan seorang Muslim dosanya lebih besar daripada menjatuhkan kehormatan Ka’bah. Apakah Anda akan melanjutkan kebiasaan mencemooh, mempergunjingkan, dan menjatuhkan kehormatan saudara sendiri sesama Muslim? Terserah Anda…

Wallahu a’lam bishawab. []

· Kader HMI Cab. Surakarta Fak.Hukum UNS

No comments: